Selama hampir satu bulan Tim Wacana Nusantara memasuki lorong waktu sejarah Nusantara. Kami mengunjungi berbagai candi dari Mazhab Majapahit, Singasari, Sanjaya dan Syailendra. Kami menyisir candi-candi dari wilayah Jawa Timur hingga Jawa Tengah.
Apa yang kami temukan adalah pemandangan yang luar biasa. Candi-candi itu membentangkan ilmu pengetahuan yang dapat kami pelajari dan telusuri sebagai warisan penciptaan leluhur di masa lalu.
Dari berbagai candi, kami menjumpai jutaan kubik terakota dan batu andesit, semuanya berisi motif ukiran dan figur-figur yang menceritakan kisah-kisah. Di dalam batu-batu itu kami menemukan konteks batu.
Sebagai bagian dari generasi kekinian, kami menyadari betapa dangkalnya pengetahuan kami, ketika motif, relief dan hiasan-hiasan yang terpahat beradab-abad silam itu mesti kami terjemahkan.
Serasa memasuki lorong waktu, terhempas di ruang masa lampau tetapi tak kuasa menerjemahkan karya-karya itu. Inilah yang menyadarkan kami, masa lalu bukanlah romantisme irasional tanpa logika. Masa lalu merupakan ruang luas ilmu pengetahuan.
Dari Mojokerto, Trowulan, Nganjuk, Kediri, Blitar, Malang, Jombang, Pasuruan, Sidoarjo, Klaten, Yogyakarta, Magelang, kami menjumput satu demi satu ilmu leluhur. Menyerap dan menjadikannya sebagai bahan kajian.
Di lapangan penelitian, kami memotret dan melakukan wawancara dengan berbagai komunitas maupun perorangan. Dari wawancara tersebut, kami semakin mengagumi bangunan-bangunan, situs dan petilasan yang kami jumpai.
Tempat-tempat itu memberikan kesadaran bagi anak-anak Nusantara seperti kami ini, bahwa hanya manusia yang memiliki rasa, karsa, upaya dan daya lebih yang mampu menciptakan bangunan-bangunan seperti Candi Panataran, Kota Trowulan, Candi Prambanan dan Candi Sewu, Ratu Boko, dan Borobudur.
Kebanggaan dan keheranan terbit di dada kami, manakala menjumpai karya-karya besar para leluhur. Kami pernah berimajinasi, bagaimana seandainya Borobudur ternyata ada empat?
Bagaimana jika Prambanan, Candi Sewu dan Ratu Boko ternyata ada tiga? Apakah cukup hanya dengan kebanggaan saja yang kita miliki? Bukankah kita harus memaknai ilmu pengetahuan dan penciptaan masa lalu itu sebagai karya nyata pada masa kita dan masa yang akan datang?
Reog ponorogo, keris, batik, tari pendhet, beberapa lagu dan hasil cipta karya leluhur Nusantara telah diklaim oleh pihak asing untuk dipatenkan. Ketika persoalan ini terjadi, reaksi muncul dari dalam negeri.
Kita marah, kita tidak rela. Akan tetapi marilah melongok pada halaman rumah kita, memperhatikan beranda dan teras rumah kita. Sudahkan kita mendata dan merawat warisan leluhur dengan semestinya?
Menterjemahkan batu-batu itu adalah menterjemahkan diri kita. Sebab hancurnya batu-batu itu, bisa jadi merupakan kehancuran kita.
Hilangnya aset museum, tidak terawatnya peninggalan-peninggalan bersejarah dan minimnya apresiasi kita terhadap warisan leluhur, menjadi konteks Indonesia hari ini.
Sudahkah kita mampu menterjemahkan jutaan batu-batu warisan leluhur itu?
Salam Nusantara