Rencana ini membincangkan penggunaan geneologi dan silsilah dalam merekonstruksi sejarah kerajaan Sintang yang terletak di pedalaman aliran Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Beberapa catatan mengenai silsilah yangberhasil dikumpulkan itu memperlihatkan keadaan dan perkembangan yang menarik, terutama dari segi politik. Perubahan pemakaian gelaran di dalamnya juga memperlihatkan interaksi antara budaya Sintang dengan budayapendatang. Selain itu, silsilah kerajaan Sintang menunjukkan pertalian kekerabatan dan perkahwinan antara Sintang dan daerah sekitarnya.
Oleh: Yuda Benharry T, M.Hum.*
November 28, 2009
Kerajaan Sintang di Kapuas, Kalimantan Barat, terletak di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Ia telah didatangi orang Belanda pada tahun 1822 (Lontaan 1975). Ketika itu, orang Belanda tidak banyak mengetahui kerajaan Sintang dan kawasan di sekitarnya.
Selaras dengan pengluasan kekuasaan politik dan ekonominya, orang Belanda telah banyak meninggalkan laporan dan dokumen historiografi kolonial tentang kerajaan itu. Daripada catatan yang ditinggalkan itu, Sintang erat hubungannya dengan kawasan hilir Sungai Kapuas, terutamanya Pontianak, yang juga telah mengenal tulisan dan budaya Arab yang kemungkinan besar dibawa orang Melayu.
Sehubungan itu, terdapat manuskrip dalam Jawi yang boleh dianggap sebagai rekod penulisan awal sebelum kedatangan orang Belanda. Walau bagaimanapun, kini terdapat lebih banyak sumber kolonial daripada sumber tradisional di Pontianak.
Dalam sumber kolonial yang disusun untuk tujuan memperluaskan kuasa penjajahan Belanda itu terselip juga catatan tentang adat istiadat dan budaya peribumi. Sumber kolonial itu banyak yang disimpan di Arsip Nasional Jakarta, Arsip Negeri Belanda dan juga perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden.
Kelangkaan khazanah sumber peribumi disedari J.U. Lontaan pada tahun 1970-an ketika beliau mengumpul bahan untuk menulis mengenai sejarah, adat istiadat dan hukum adat masyarakat Kalimantan Barat. Malangnya, bahan yang dikumpulnya daripada tradisi lisan dan lain-lain, termasuk manuskrip, telah hilang.
Yang tinggal hanya sebagian historiografi tradisional tentang Sintang, yang dibincangkannnya dalam dalam karyanya (1975) yang cuba merekonstruksi sejarah masa lampau dalam bentuk berbaur dengan mitos dan legenda. Sementara itu, dalam Laporan Umum Asisten Residensi Sintang (Algemeen Verslag der Assistant Residentie van Sintang disingkat AVARS) tahun 1856 terdapat senarai raja-raja Sintang, lengkap dengan gelaran mereka.
Di sini perlu dinyatakan juga bahawa dalam laporan statistik D.W.C. Baron van Lijnden pada tahun 1851 juga disertakan sedikit gambaran silsilah tentang penghuni awal Sintang dalam bentuk cerita, sementara Naskah Silsilah Sintang (koleksi KITLV) menyajikan jurai keturunan dalam bentuk rajah.
Antara hal penting dari silsilah itu adalah kehidupan di Sintang, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan di Gunung Kujau, Sepauk. Walaupun pengkisahan dari Lontaan mengenai asal usul itu masih berbalut mitos, tetapi kisah tentang adanya perkawinan pasangan yang berbeda asal keturunan itu dengan sendirinya memperlihatkan interaksi antara pendatang dan penetap awal.
Kepercayaan yang dianuti diperkirakan Hindu Syiwa, sesuai dengan bukti arkeologi yang berupa patung Syiwa yang terbuat dari perunggu. Selain itu, juga ditemui Batu Kundur dengan bahagian atasnya menyerupai labu kundur di Kalimantan Timur. Selanjutnya juga ditemui sebuah makam yang diperkirakan daripada raja Hindu, bersama dengan sebuah kolam mandi dan sebuah batu mirip sosok manusia.
Bahan arkeologi itu membuktikan sebuah kerajaan Hindu pernah dibangun di tempat itu (Team Penyusun 1976). Walaupun tarikhnya tidak dipastikan, seorang yang bernama Demong Irawan dan yang bergelar Jubair I memindahkan kerajaan ke Sintang. Kabupaten Sintang mengakui tokoh itu pendiri kekuasaan di Sintang.
Selain pohon keturunan, silsilah juga menampilkan pemakaian gelaran yang berubah-ubah selaras dengan perkembangan demografi kerana pendatang baru dengan budayanya. Gelaran yang mengikut sebutan lokal itu, seperti Demong, Dara, Dayang, Nyai, Adipati, Abang, Adi, Panembahan, Kyai, Pangeran dan Raden, ada kaitan dengan pengaruh Hindu (Naskah Sintang CS 84-2/37, koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta). Gelaran itu kemudian berubah menjadi Sultan karena pengaruh Islam selepas itu.
Setakat ini masih belum diketahui tarikh di sebalik penggunaan gelaran itu, walaupun terdapat pertalian kekerabatan melalui perkawinan antara raja Sintang dengan raja dinasti Majapahit di Jawa: seorang ratu Sintang berkahwin dengan seorang patih Majapahit, Logender. Pihak lelaki membawa keluarganya ke Sintang. Dengan itu, mula terkenal perladangan di tempat itu setelah dibawa pokok yang tidak dikenali di Sintang.
Sehingga kini, kekusutan tentang nama dalam silsilah masih banyak tidak diketahui. Antaranya ialah Dara Juanti yang berbeda-beza maklumatnya. Selain itu, siapakah Panembahan Juahir dan Jubair II? Apakah kedua-dua nama itu merujuk kepada satu orang atau dua orang yang berbeda? Demikian juga dengan identitas orang yang diberi nama Demong Nutup, Abang Saman dan Debayer.
Ketika Belanda mula-mula sekali tiba Kapuas, sedang berlangsung pemilihan pemangku mahkota kerajaan melalui musyawarah. Keturunan dijadikan prinsip penobatan raja baru. Adat pemilihan itu tidak berubah sehingga pihak Belanda campur tangan dengan memilih calon raja yang disukai mereka. Oleh itu, sebagian sejarah Kapuas dan Kalimantan Barat dapat ditelusuri kembali dalam dokumen arkib kolonial.
Dalam percaturan politik di Sintang, jurai keturunan penting pada saat tercetusnya pemberontakan rakyat tempatan melawan kerajaan Belanda pada tahun 1856 yang disebut Perang Tebidah (Tangkilisan 1993).
Pemberontakan itu dapat bertahan dari kepungan dan sekatan ekonomi Belanda karena orang tempatan menerima bantuan yang dihulur daripada raja-raja dari tempat di sekitarnya karena ikatan keturunan.