Nama Ratu Sima (atau Ratu Shima) dikisahkan merupakan ratu penguasa Kerajaan Kalingga yang terletak di pantai utara Jawa Tengah sekitar tahun 674 Masehi. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur.
Alkisah bahwa ada seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melakukan hal itu karena ia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar itu.
Tidak seorang pun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, hingga suatu hari tiga tahun kemudian, seorang putra Sima, sang putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya. Mulanya Sang Ratu menjatuhkan hukuman mati untuk putranya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mengurangkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran.
Karena kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, maka Ratu menjatuhkan hukuman memotong kaki sang pangeran. Menurut Carita Parahyangan Cicit Ratu Sima adalah Sanjaya yang menjadi Raja Galuh, dan menurut Prasasti Canggal adalah pendiriKerajaan Medang di Mataram. Berdasarkan Naskah Wangsakertadisebutkan bahwa Ratu Sima berbesan dengan penguasa terakhir Tarumanegara
RAJAPUTERI KALINGGA
Di Jawa Tengah, Ratu Sima atau Ratu Simo dengan Kerajaan Kalingganya relatif terkenal. Beberapa kota bahkan sempat mengabadikan nama Ratu Sima dan Kalingga sebagai nama jalan di kota-kota tersebut.
Bekas-bekas kerajaan Kalingga sampai saat ini masih banyak terlihat di daerah Dieng. Sementara itu nama Ratu Sima sendiri juga sering dikaitkan dengan sosok wanita yang sangat cantik. Namun siapa sesungguhnya Ratu Sima ini?
Menurut catatan sejarah, Ratu Sima adalah istri Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga antara tahun 648 sampai dengan 674 M. Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga yang tidak diketahui namanya, yang memerintah antara tahun 632 sampai dengan 648.
Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M – adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga Raja Kalingga.
Kalau suami dan nenek moyang suaminya diketahui asal-usulnya, maka siapa sesungguhnya leluhur Ratu Sima sendiri ? Apakah ia seorang wanita kebanyakan yang karena cantik lalu dipersunting oleh anak raja?
Ataukah seorang putri raja taklukkan ? Ataukah mungkin anak raja negeri sahabat ? Tidak ada catatan yang jelas. Namun demikian yang hampir dapat dipastikan, Ratu Sima dengan suaminya merupakan leluhur raja-raja di Jawa Tengah, Jawa Timur dan bahkan Jawa Barat pada periode-periode kemudian.
Ratu Sima, pemeluk Hindu Siwa, semula adalah wanita di belakang layar sewaktu suaminya, Kartikeyasinga, menjadi Raja Kalingga sejak tahun 648. Ratu Sima dengan Kartikeyasinga mempunyai dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara).
Untuk mempererat persahabatan dengan Galuh dengan maksud untuk menghadapi Sriwijaya yang saat itu beraliansi dengan Sunda, Kartikeyasinga dan istrinya Ratu Sima menjodohkan anaknya yang bernama Parwati dengan Amara (Mandiminyak), anak Raja Galuh Wretikandayun.
Parwati, dari perkawinan tersebut, melahirkan Sanaha pada tahun 661/662 M. Dengan perkawinan itu terbentuklah dua blok yang salin berhadapan, yaitu Blok Sriwijaya-Sunda dan Blok Kalingga-Galuh yang notabene sesungguhnya masih termasuk dalam satu rumpun keluarga.
Saat Kartikeyasinga wafat tahun 674, Ratu Sima mengambil alih posisi suaminya sebagai raja sampai dengan tahun 695 M dengan gelar Sri MahaRani Mahissasuramardini Satyaputikeswara.
Dalam pemerintahannya, menantunya, Mandiminyak dan adik iparnya, Narayana, diangkat menjadi pembantu-pembantunya. Pemerintahan di pusat kerajaan oleh Ratu Sima didelegasikan kepada 4 orang menteri yang mengatur negara beserta 28 negara taklukkan yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Saat Ratu Sima menggantikan suaminya sebagai Raja Kalingga, Sriwijaya yang saat itu dirajai Sri Jayanasa (berkuasa antara tahun 669-692 M) sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi. Negeri Melayu Sribuja (beribu kota di Palembang), asal ibu mertua Ratu Sima, diserbu oleh Sriwijaya sejak tahun 670 M.
Lantas pada tahun 675, hampir separuh wilayah Kerajaan Melayu diduduki dan akhirnya tahun 683 M diduduki secara penuh oleh Sriwijaya dengan mengerahkan tentaranya sebanyak sekitar 2 laksa (20.000 orang). Dengan demikian Sriwijaya dapat menguasai seluruh Sumatera dan Semenanjung Malaya. Pada waktu itu ajakan damai dari Sri Jayanasa ditolak oleh Ratu Sima.
Untuk memperkuat persahabatan yang sudah terjalin sebelumnya dengan Kerajaan Galuh dalam upaya menghadapi Sriwijaya, Ratu Sima menyetujui perkawinan Sena dengan Sanaha. Sena adalah anak Mandiminyak dengan Pohaci Rababu sedangkan Sanaha adalah anak Mandiminyak dengan Parwati. Perkawinan sedarah ini membuahkan anak yang diberi nama Sanjaya (683 M-754 M)
Menurut sejarah, Ratu Sima – yang janda – sempat dipinang oleh Sri Jayanasa. Ratu Sima menolaknya. Oleh sebab itu pada tahun 686 Sriwijaya bermaksud menyerang Kalingga. Mengetahui rencana ini, Tarusbawa, raja Sunda, turun tangan dan mengirim surat kepada Sri Jayanasa bahwa ia tidak setuju dengan rencana itu.
Alasannya adalah agar jangan timbul kesan bahwa gara-gara pinangannya ditolak oleh Ratu Sima, maka Sri Jayanasa hendak menyerbu Kalingga. Mau tak mau Sri Jayanasa terpaksa menyetujui usul Tarusbawa, yang juga adalah saudaranya sendiri. Kapal-kapal Kalingga, yang waktu itu sempat ditahan, dilepaskan setelah hartanya dirampas. Tindakan Sriwijaya hanya sekadar mengganggu keamanan laut Kalingga.
Sri Jayanasa Raja Sriwijaya mangkat tahun 692 M dan digantikan oleh Darmaputra (692-704). Sedangkan Ratu Sima mangkat 3 tahun kemudian, yaitu tahun 695 M. Sebelum mangkat, Kerajaan Kalingga dibagi dua.
Di bagian utara disebut Bumi Mataram (dirajai oleh Parwati, 695 M-716 M). Di bagian selatan disebut Bumi Sambara (dirajai oleh Narayana, adik Parwati, yang bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala, 695 M-742 M).
Sanjaya (cucu Parwati) dan Sudiwara (cucu Narayana) kelak menjadi suami istri. Perkawinan mereka adalah perkawinan antara sesama cicit Ratu Sima. Anak hasil perkawinan mereka bernama Rakai Panangkaran yang lahir tahun 717 M. Dialah yang di kemudian hari menurunkan raja-raja di Jawa Tengah.
Ratu sima juga terkenal karena Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur.
Tradisi mengisahkan seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melakukan hal itu karena ia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar itu.
Tidak seorang pun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, hingga suatu hari tiga tahun kemudian, seorang putra Sima, sang putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya.
Konon Sang Ratu Mulanya bersikeras menjatuhkan hukuman mati untuk putranya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Tapi karena kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, Sang Ratu lalu menjatuhkan hukuman memotong kaki sang pangeran.