Suku Konjo (Kondjo atau Tiro) atau disebut juga Suku Kajang adalah salah satu suku di Indonesia yang tinggal di daerah Kabupaten Bulukumba. 209 km dari kota Makasar, provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat Konjo berjumlah 125.000 jiwa. Pada daerah tersebut, suku Konjo terdapat di empat kecamatan yaitu Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Bontobahari dan Kecamatan Herlang), yang semuanya berada di wilayah bagian Timur Kabupaten Bulukumba.
Oleh: Priscilla Agnes
JULI 11, 2013
Suku Konjo Hitam termasuk dalam suku Konjo tersebut. Selain di Bulukumba, Suku Konjo juga mendiami wilayah Kabupaten Sinjai (yang berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba bagian Utara) dan Kabupaten Barru (beberapa Desa di Kecamatan Pujananting).
Dalam kehidupan sehari-hari, suku Konjo memilih hidup dengan menerapkan kebudayaan lama yang sudah turun temurun ada yaitu seperti berpakaian serba hitam, tidak diperbolehkan untuk menggunakan peralatan, dan mempraktekkan ilmu sihir sebagai bagian dari proses penyembahan.
Dalam tradisi masyarakat Konjo terdapat satu kearifan lokal yang menjadi pandangan hidup masyarakat Konjo yaitu “Hutan tak boleh ditambah dan tak boleh dikurangi”. Saat ini, hutan adat masyarakat Konjo yang berada di Desa Tanatowa seluas 331,70 hektar dalam kondisi yang terjaga. Tanah pertanian, ladang dan tanaman di area tersebut terjaga kesuburannya.
Filosofi Masyarakat Konjo berakar dari kondisi masyarakat Konjo yang merupakan masyarakat agraris dimana kehidupan mereka bergantung kepada lahan pertanian. Selain itu, hutan adalah tempat sakral bagi masyarakat Konjo, dimana ada larangan untuk tidak masuk ke hutan. Masyarakat Konjo mempunyai pandangan bahwa tidak boleh ada yang masuk ke dalam hutan.
Masyarakat Konjo percaya satu hal bahwa hutan akan memberi kesuburan bagi tanah mereka, menjaga sumber mata air desa. Mereka percaya bahwa hutan masih ada maka tanah mereka akan subur. Hutan yang lebat juga akan memberikan mereka sumber air yang banyak. Sebagian besar Orang Konjo masih memanfaatkan air yang ada di sumber-sumber air yang biasanya keluar di samping pohon-pohon yang besar. Orang Konjo yang ada di dalam kawasan adat masih jarang yang memanfaatkan air tanah dengan membuat sumur.
Kesakralan Hutan bagi masyarakat Konjo juga karena hutan adalah tempat menyelenggaraan ritual adat mereka. Konon nenek moyang orang Konjo dimakamkan di hutan adat tersebut. Setiap tahun, ada upacara adat menziarahi makan tersebut perangkat adat Tanatowa. Selain itu, hutan adat juga digunakan sebagai media pemilihan Ammatowa (pemimpin tertinggi adat Orang Konjo).
Ammatowa dipilih dengan seleksi atau melewati ujian masuk ke dalam hutan. Tidak semua orang dapat sembarangan masuk ke hutan, ada sebuah prosesi ”mistis” yang dilakukan. Bagi calon Ammatowa yang dapat keluar dari hutan dengan kondisi tegap dan sehat maka ialah Ammatowa yang dipilih oleh leluhur mereka. Orang Konjo percaya bahwa orang yang dapat keluar dengan selamat setelah memasuki hutan adat maka orang tersebut adalah pemimpin yang dipilih oleh Yang Maha Kuasa dan leluhur mereka.
Dalam urusan budaya masyarakat Konjo pesisir dan pegunungan ciri-ciri budaya sebagai berikut:
1. Saling membantu dalam pekerjaan dan keuangan, upacara perkawinan,
menjenguk orang sakit, melayat orang meninggal. Sekalipun di antara
anggota suku ini ada pertengkaran, mereka bersatu menghadapi
ancaman dari pihak luar.
2. Materialisme diwujudkan dengan meminta secara terus terang kepada
orang yang tidak takut bersaing mengumpulkan harta dan pemborosan
agar orang lain terkesan.
3. Kegemaran kumpul-kumpul dan mengobrol.
4. Cenderung berkelit dalam menjawab pertanyaan.
5. Mempertahankan harga diri, dengan mempertahankan status sosial.
Masyarakat Konjo pesisir 100% beragama Islam. Bagi masyarakat Konjo Hitam, Islam merupakan agama resmi. Akan tetapi praktek animisme masih dijalankan. Pemimpin agama Islam dalam budaya mereka memiliki pengaruh yang kecil. Mereka dipilih oleh rakyat untuk memimpin upacara- upacara keagamaan dan tugas-tugas di masjid. Orang Konjo Hitam memanggil dukun untuk upacara-upacara dan menolong orang sakit. Amma Toa (ayah tua) dari orang Konjo Hitam dianggap sebagai pemimpin keagamaan di daerah itu dan ditakuti karena kekuatan sihirnya.
Dalam segi mata pencaharian masyarakat Konjo Pesisir dan pegunungan berprofesi sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Sistem pertanian mereka biasanya berdasarkan sistem bagi hasil antar sesama warga desa, yang dikerjakan secara beramai-ramai atau gotong-royong. Sebagian pula dari mereka berprofesi sebagai nelayan, mereka menangkap ikan di laut sesuai dengan waktu dan cuaca yang sudah diperhitungkan dengan matang
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Konjo Pesisir dengan beberapa dialek yaitu Tana Toa, Konjo Hitam dan Kajang. Konjo sendiri adalah sebutan bagi masyarakat yang menggunakan bahasa Konjo sebagai penutur. Konjo adalah bahasa perpaduan antara bahasa Bugis dan Makassar yang konon sering digunakan oleh orang-orang di Kajang.