Bagi orang Aceh, rencong adalah benda pusaka yang dipergunakan oleh mereka, terutama kaum pria. Bahkan pada masa kerajaan-kerajaan Aceh, anak laki-laki yang beranjak dewasa dianjurkan untuk memiliki rencong agar ia bisa ‘menjaga diri’.
Rencong dalam bahasa Aceh disebut reuncong, adalah sejenis senjata tajam tradisional masyarakat Aceh. Karena kekhasannya, selain dijuluki “Serambi Mekkah”, Daerah Istimewa Aceh dikenal juga sebagai “Tanah Rencong”.
Selain alat pertahanan diri, rencong merupakan lambang kebesaran bangsawan Aceh serta lambang keberanian para pejuang Aceh dalam melawan kolonial. Sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan rakyat Aceh, kita bisa melihat keberadaan rencong pada foto atau lukisan pahlawan yang berasal dari Aceh. Senjata ini diselipkan pada pinggang sebagai penanda egalitarianisme dan ketinggian martabat.
Rencong Aceh konon telah dikenal oleh masyarakat Aceh sejak berdirinya Kerajaan Islam; Pasai, kira-kira pada abad ke-12. Dengan segala perkembangan dan evolusi bentuknya hingga mencapai kesempurnaan seperti yang kita lihat sekarang ini, sangat berhubungan erat dengan kepercayaan Islam.
Menurut T. Syamsudin, dkk (1981), secara fungsi dan kegunaan, awalnya Rencong Aceh ini adalah alat potong atau perkakas rumah. Tentu saja pada mulanya berbentuk kasar, lama kelamaan berbentuk licin dan halus.
Hal ini merupakan tugas dari pandai-pandai besi yang di Aceh dikenal dengan nama Pandee Beusou. Kemudian ketika perang melawan Portugis, pada masa kerajaan Sultan Ali Muqhayat Syah (1514-1528), saat itulah rencong pertama kali dipakai sebagai senjata.

Secara filosofis, rencong berorientasi pada kepercayaan Islam sebagai agama yang amat berpengaruh dalam penghidupan sosial budaya masyarakat Aceh.
Beberapa menyatakan, dari segi bentuknya gagang rencong yang melekuk kemudian menebal pada bahagian sikunya sehingga menyerupai aksara Arab BA. Bentuk dari bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN.
Bentuk-bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya menyerupai aksara MIM. Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga’ dekat ujungnya merupakan aksara LAM.
Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk keatas merupakan aksara HA. Maka rangkaian dari aksara BA, MIM, LAM, dan HA itu mewujudkan kalimah “BISMILLAH “.
Jadi menurut pendapat ini, Rencong Aceh merupakan reaksi dan perwujudan dari kalimah “BISMILLAH” dalam bentuk senjata tajam sebagai alat perang untuk mempertahankan agama Islam dari rongrongan orang-orang yang anti Islam atau penjajah.
Pada perkembangannya, rencong hari ini selain berfungsi sebagai benda pusaka yang bernilai bagi masyarakat Aceh, kita kenal pula sebagai benda souvenir. Ada rencong yang gagangnya dibuat dari tanduk, gading atau gagang yang dibalut dengan suasa atau emas.
Jenis-jenis rencong yang dikenal dalam masyarakat Aceh yaitu rencong Meupucok, rencong meucugek, rencong pudoi dan rencong meukuree. Masing-masing jenis tersebut memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri.
Maka tak heran jika rencong bagi masyarakat Aceh, bukanlah sekadar senjata melainkan sebuah simbol dari keimanan dan harga diri yang dibuat dengan cita rasa seni yang sangat tinggi.