Pada tahun 2015, para peneliti dari King College London mengklaim jika sejak bayi kita mengkonsumsi kacang, hal itu dapat mengurangi risiko alergi hingga 80%. Kini, mereka dapat memastikan bahwa jika hal tersebut dilakukan, tidak akan ada lagi alergi terhadap kacang selamanya.
Oleh: Putra Batara
Maret 9, 2016
Alergi kacang atau Alergi saat mengkonsumsi kacang mungkin masih terdengar ‘aneh’ bagi sebagian kita. Tapi pada kenyataannya, jenis alergi ini dapat menyebabkan reaksi yang mengancam jiwa pada beberapa orang.
Kacang tanah (Arachis hypogaea) adalah salah satu makanan yang paling sering dikaitkan dengan anafilaksis; kondisi tiba-tiba yang memerlukan perhatian dan perawatan segera karena berpotensi mematikan.
Sebetulnya bukan hanya kacang tanah yang berpotensi menjadi penyebab alergi, tapi hampir semua jenis kacang-kacangan yang termasuk dalam legume family. Seperti kedelai, kacang polong, dan lentil.
Kesadaran tentang alergi kacang khususnya pada anak-anak beberapa tahun belakangan ini semakin meningkat. Penyebabnya tidak lain karena alergi yang satu ini adalah salah satu alergi makanan yang paling umum ditemukan pada anak-anak.
Kutukan yang Dapat Dicegah
Alergi terhadap kacang diyakini merupakan kutukan seumur hidup. Penelitian National Institutes of Health pada tahun 2010 bahkan memberitahukan hanya sekitar 20 persen saja yang berhasil ‘sembuh’ setelah di-diagnosa memiliki alergi ini.
Upaya untuk menyembuhkan atau sekurang-kurangnya menghindari risiko alergi kacang pun telah banyak dilakukan. Salah satunya yang paling anyar adalah studi yang dilakukan sekelompok peneliti dari King College London.
Dalam hasil penelitian terhadap 550 anak yang dianggap rentan alergi kacang—dimuat dalam The New England Journal of Medicine (2016)—para ilmuwan itu berhasil menunjukkan bahwa mengkonsumsi kacang sejak bayi adalah jawaban jika ingin mencegah alergi.
Prof Gideon, salah satu peneliti utama mengatakan: “Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa mayoritas bayi itu sekarang telah dilindungi dan bahwa perlindungan ini tahan lama.”
Para peneliti ini mengamati anak-anak yang sama yang mengambil bagian dalam penelitian mereka di tahun 2015. Setengah dari bayi itu telah diberi kacang—sajian dan atau takaran harus berkonsultasi dengan ahli—sementara sisanya hanya diberi ASI.
Lebih lanjut hasil studi tersebut memaparkan bahwa jika seorang anak telah mengkonsumsi kacang dalam 11 bulan pertamanya, kemudian pada usia lima tahun berhenti, alergi pada kacang tidak lagi ditemukan.
“…bahwa ketika anak berusia enam tahun, tidak ada peningkatan signifikan secara statistik pada risiko alergi setelah 12 bulan mereka berhenti sama sekali dari mengkonsumsi kacang,” kata para penulis.
Secara tidak langsung, para peneliti ini mengaitkan kasus alergi kacang dengan kebiasaan kita yang terkadang sering ‘memilah’ dan ‘takut’ terhadap makanan tertentu.
“Saya percaya bahwa alergi terhadap makanan adalah ramalan. Makanan itu dikecualikan dari menu keseharian, sebagai hasilnya, [tubuh] anak gagal untuk mengembangkan toleransi,” kata Prof Gideon kepada situs BBC News.
“Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati”
Ada adagium yang sangat cocok untuk kasus ini, yaitu “Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati”. Pasalnya untuk mendiagnosis alergi kacang, jika terlambat mencegahnya, bisa menjadi rumit.
Gejalanya sangat bervariasi pada setiap orang, bahkan seorang alergen tidak selalu mengalami gejala yang sama ketika terjadi reaksi.
Reaksi alergi yang paling parah adalah anafilaksis—respon seluruh tubuh yang mengancam jiwa alergen. Gejala yang di dalamnya termasuk gangguan pernapasan, pembengkakan di tenggorokan, penurunan mendadak tekanan darah, kulit pucat atau bibir biru, pingsan, dan pusing.
Gejala yang lebih ringan meliputi: kulit gatal atau gatal-gatal yang dapat muncul sebagai bintik-bintik kecil dan atau besar, terasa gatal atau kesemutan di sekitar mulut dan tenggorokan, mual dan juga sesak napas.